Tuesday, April 21, 2009

Mulai dari yang kecil

Surat Pemutusan Hubungan Kerja yang diterimanya pagi itu seperti sambaran petir di siang bolong. Tanpa ada pemberitahuan lebih dahulu soal kondisi perusahaan yang sedang kolaps, surat itu muncul secara tiba-tiba. Bersama dengan beberapa kawan senasib, Miming memang tidak punya pilihan kecuali menerimanya. Bossnya punya dua toko kertas, dan sudah menentukan pilihan bahwa toko yang akan ditutup adalah toko tempatnya bekerja. Bukan toko yang lain.



Cerita menarik daril milis TDA.
Posted by: "Zainal Abidn"

Surat Pemutusan Hubungan Kerja yang diterimanya pagi itu seperti sambaran petir di siang bolong. Tanpa ada pemberitahuan lebih dahulu soal kondisi perusahaan yang sedang kolaps, surat itu muncul secara tiba-tiba. Bersama dengan beberapa kawan senasib, Miming memang tidak punya pilihan kecuali menerimanya. Bossnya punya dua toko kertas, dan sudah menentukan pilihan bahwa toko yang akan ditutup adalah toko tempatnya bekerja. Bukan toko yang lain.

Apa yang akan dikerjakannya? Belum terpikir. Bahkan selama seminggu, ia tidak punya kekuatan untuk menyampaikan berita PHK itu kepada istrinya. Dan selama seminggu itu, ia keluar dari rumah seperti biasa, layaknya berangkat kerja. Sore pun ia pulang layaknya seperti ketika ia pulang kerja. Sehari-hari yang dilakukannya adalah menyambangi beberapa kawan senasib, serta beberapa pemasok kertas di toko tempat bekerjanya dahulu. Tak ada berita lain. Ia hanya mengabarkan nasib buruk yang menimpanya.

Hari itu hari Jumat. Seperti biasa, ia pamit pada istrinya, seolah ia hendak berangkat bekerja. Hari itu, ia sudah ada janji dengan seorang kawannya, yang sudah jadi seorang teknisi mesin fotocopy sekaligus pemasok sparepartsnya. Siapa tahu, ada yang bisa dilakukannya, agar di akhir bulan ia dapat sejumlah uang untuk menjaga dapurnya tetap ngebul.

Pertemuan cukup lancar. Ia bisa jadi sales untuk jasa perbaikan mesin fotocopy sekaligus spareparts mesinnya. Rencananya, ia akan memulai aktivitas salesnya hari itu juga.

Usai pertemuan, sudah jam 11.30. Waktunya shalat Jumat. Dicarinya mesjid terdekat. Di pintu mesjid, ia ambil selembar selebaran. Lumayan buat dibaca-baca sambil menunggu saat khatib berkhutbah. Selebaran itu dilipatnya, dan ia pun mengambil air wudhu. Usai wudhu, ia pun mencari tempat di jajaran saf depan. Dikeluarkannya selebaran dari sakunya.

Wow, selebaran yang beda dari biasanya. Dan salah satu isinya merupakan harapannya. Di situ ada pengumuman pelatihan wirausaha gratis. Hare gene ada yang nawarin pelatihan gratis?

Usai shalat Jum'at, ia segera menuju alamat yang tertera dalam selebaran itu. Setelah beberapa kali bertanya, ia berhasil menemukan alamat yang dicarinya. Institut Kemandirian Dompet Dhuafa Republika. Dan ia beruntung. Itu adalah hari terakhir pendaftaran, dan hari Senin pelatihannya dimulai. Full day, selama 5 hari. He he he ... Lima hari ke depan nggak perlu cari-cari tempat buat buang waktu. Ikut pelatihan aja ...

Dalam 5 hari pelatihan itu, ia bertemu dengan banyak guru. Ada Eri Sudewo. Ada Jamil Azzaini. Ada Nasruddin Latief. Ada Wahyu Saidi. Ada Supardi Lee. Nggak lupa juga, gurunya monyet, Zainal Abidin. Ada juga tontonan bermutu seperti film Men of Honor dan Door to Door. Ada praktek jualan air mineral, yang kemudian menunjukkan pada dirinya, bahwa cari duit itu nggak susah-susah amat. Asal mau bertindak.

Banyak pelajaran. Banyak pengalaman. Pelatihan baru sehari, sudah bisa memaksanya bicara terus terang pada istrinya, perihal PHK yang menimpanya. Kekhawatirannya bahwa sang istri akan kecewa, marah dan sebagainya, tidak terbukti. Ia justru semakin yakin, bahwa perempuan itu adalah istri yang baik. Tidak hanya siap menerima senang, tetapi juga siap susah bersama.

Usai pelatihan, adalah saatnya bertindak. Dengan sedikit rasa sungkan, ia datangi hampir semua toko alat tulis dan jasa fotocopy, di setiap ruas jalan yang dilaluinya. Ia menawarkan dua hal. Pasokan kertas dan jasa perbaikan mesin fotocopy. Hari pertama, dilalui tanpa order. Begitu juga hari kedua. Begitu juga hari ketiga.

Ternyata, tidak semua hasil pelatihan bisa dipraktekkan secara langsung. Banyak toko yang didatanginya, tidak bersedia membayar terlebih dahulu sebelum barang diantar. Sebaliknya, pemasok kertas pun tidak bersedia memberikan barang dagangannya sebelum dibayar. Satu-satunya harapan, tentu Institut Kemandirian. Siapa tahu sekolah ini bersedia meminjamkan uang untuk modal usahanya.

Di sana, ia bertemu dengan pimpinan sekolah. Diutarakannya keinginannya. Apa jawabannya? Ia malah ditanya, punya televisi atau tidak? Punya sepeda motor apa tidak? Baru ditanya, butuhnya berapa?

Kalo hanya butuh seratus dua ratus ribu, jual aja dulu televisi di rumah ... Kalo sampai jutaan, kan sepeda motornya bisa dijual dulu ...

He he he ... Benar juga, pikirnya. Beberapa barang berharga miliknya pun berganti rupa jadi rupiah. Dengan uang tidak seberapa itu, ia membayar beberapa rim kertas. Dan usahanya pun berjalan. Tentu saja, putarannya tidak terlalu cepat.

Berkali-kali ia datangi sekolah terakhirnya. Konsultasi. Bertukar-pikiran. Diskusi. Dan suatu saat, ia dapat tambahan modal. Tidak banyak. Hanya dua juta rupiah, yang harus dibayar dengan cara mencicil selama satu tahun.

Hari ini, saya berhadapan langsung dengan tokoh utama cerita di atas. Namanya Miming. Saya sempatkan waktu untuk datang langsung ke tokonya. Subhaanallaah. Ia sekarang sudah berjualan di sebuah toko yang disewanya delapan juta rupiah setahun. Sebuah toko yang berisi barang dagangan berupa alat tulis yang relatif lengkap. Tidak ada kursi. Tempat duduk saya adalah tumpukan kertas fotocopy yang siap dijual.

"Berapa omset sebulan, pak Miming?" tanya saya.

Yang ditanya tidak menjawab. Ia hanya menyodorkan sebuah buku catatan. Itu catatan omset hariannya, sejak toko itu dibuka setahun lalu. Hari pertama hanya dapat Rp. 113.500,- Selama sebulan pertama, omsetnya hanya dua jutaan rupiah.

Hari ini, tanpa terasa air mata saya mengalir. Saya terharu. Bukan karena melihat omset bulan pertama. Hari ini saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, omset bulanannya mencapai enam puluh lima juta rupiah.

Terima kasih, Tuhan ...




No comments:

Post a Comment